Living in The Moment, Preparing for The Future..

Rabu, 14 Desember 2011

10.25 Posted by Arie No comments Posted in ,

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan.
Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa.
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum, saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya. Pendapat yang dikemukakan para pemuka masyarakat, ahli pendidikan, para pemerhati pendidikan dan anggota masyarakat lainnya di berbagai media massa, seminar, dan sarasehan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada awal tahun 2010 menggambarkan adanya kebutuhan masyarakat yang kuat akan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Apalagi jika dikaji, bahwa kebutuhan itu, secara imperatif, adalah sebagai kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional.

B. Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

C. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1. Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa
2. Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat
3. Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
D. Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa,
2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religious,
3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa,
4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan,
5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
E. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

II. PEMBAHASAN

a. Pendidikan Karakter
Ki Hajar Dewantara: “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesem-purnaan hidup anak-anak kita.”
Apakah pendidikan nasional yang kita selenggarakan sampai sekarang ini sudah menjamin perwujudan ide mengenai keseimbangan imtak dan iptek serta prinsip-prinsip akhlak mulia itu dalam praktik? Menurut saya, hal itu benar-benar belum tercermin. Pendidikan kita selama ini sama sekali tidak atau belum berhasil membantu agar manusia Indonesia dan bangsa kita menjadi cerdas dalam pengertian seperti tersebut di atas. Pendidikan kita masih terlalu bersifat kognitif dengan orientasi konten yang dari waktu ke waktu terus menerus dibebani titipan oleh aneka kepentingan dari sekeliling. Dalam kenyataan, taksonomi Bloom yang menggambarkan adanya tiga elemen pokok dalam pendidikan, yaitu aspek-aspek affective, cognitive, dan psychomotoric tidak lah berkembang secara seimbang antara satu dengan yang lain. Pendidikan kita tidak berhasil membentuk sikap dan karakter, dan tidak juga membangun kapasitas kemampuan teknis untuk melakukan menerapkan pengetahuan dan sikap-sikap yang dimiliki dalam praktik.
Sampai sekarang pendidikan kita masih terus berorientasi kepada ‘konten’ pengetahuan. Memang benar kebijakan kirukulum kita sudah sejak lama diubah dari orientasi konken (content-base curriculum) ke kompetensi (competence-base curriculum). Namun dalam praktik orientasi konten atau orientasi kepada materi muatan pengetahuan, terus saja dipraktikkan. Bahkan, setiap muncul kritik akan kinerja pendidikan, selalu muncul tawaran yang dianggap solusi yang baik, yaitu penambahan jam pelajaran atau penambahan mata pelajaran yang dinilai sangat penting. Padahal, pengetahuan dan ilmu pengetahuan dewasa ini terus berkembang sifatnya akibat teknologi informasi dan komunikasi yang dipraktikkan secara luas. Informasi pengetahuan mengalami proses globalisasi yang cepat dan memudahkan bagi siapa saja untuk menguasainya. Karena itu, pola-pola pendidikan dan pengajaran yang berorientasi penguasaan konten atau materi ilmu pengetahuan haruslah mengalami perubahan secara mendasar. Kita tidak lagi memerlukan peran guru sebagai narasumber. Guru cukup berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing teknis cara mencari dan memahami informasi pengetahuan itu melalui sarana teknologi komunikasi dan informasi modern.
Dengan demikian, yang harus kita andalkan dari peran guru di masa mendatang adalah keteladanan dan kepemimpinannya dalam membawakan suasana belajar di kelas dan di luar kelas yang tidak berorientasi konten. Guru harus menjadi teladan, membimbing, dan mengarahkan tuntunan sikap dan akhlak mulia untuk membentuk kepribadian dan watak atau karakter, sekaligus kemampuan-kemampuan teknis bagi para peserta didik. Karena itu, orientasi pendidikan kita haruslah mengutamakan aspek-aspek afektif dan psikomotorik, dan bukan kognitif yang dapat dicari sendiri oleh para peserta didik. Yang penting ada dalam diri setiap peserta didik adalah sikap, karakter dan motivasi yang kuat disertai kemampuan teknis untuk mencari, menermukan, mengumpulkan, memahami, dan menguasai segala informasi ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam hidup, bekerja, dan untuk bertindak dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi dan kualitas hidup bersama dalam masyarakat dan bangsa kita sekarang dan di masa datang.
Dalam pembentukan watak atau karakter dan peningkatan kemampuan-kemampuan bertindak atau beraksi, tentu saja diperlukan penguasaan banyak informasi pengetahuan. Akan tetapi di samping informasi pengetahuan, yang jauh lebih penting lagi adalah pengaruh keteladanan dan hasil tempaan pengalaman praktik. Oleh sebab itu, pendidikan karakter haruslah berorientasi pada pengalaman praktik, pada proses kegiatan, bukan pada output atau hasil, pada nilai ujian, pada ‘ranking’ prestasi akademis, dan sebagainya. Pendidikan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh keteladanan yang ada di lingkungan belajar, dan pengalaman praktik dan pengalaman bekerja yang dialami langsung oleh para peserta didik. Untuk itu, perlu dipikirkan kemungkinan mengubah format pendidikan agama, misalnya, tidak lagi berorientasi konten dan output yang diukur dengan jumlah jam pelajaran dan dengan hasil ujian. Pendidikan agama lebih baik dilakukan melalui praktik kegiatan untuk sholat berjamaah, misalnya, untuk berperilaku mulia dalam bertutur kata dan dalam bersikap terhadap guru, terhadap teman, terhadap tetangga, dan sebagainya. Untuk ekstrimnya, jika sekiranya kegiatan-kegiatan demikian dapat diintensifkan dengan efektif dan para guru benar-benar dapat dijadikan teladan untuk itu, maka dapat saja mata pelajaran agama secara formal ditiadakan sama sekali.
Sudah barang tentu, pendidikan watak itu tidak hanya perlu dan tidak dapat hanya dilakukan di dalam kelas. Ada banyak aktor dan faktor berpengaruh yang harus diperhitungkan. Di luar kelas, kita menemukan dunia tontonan melalui media televisi dan media elektronik, dan media lainnya. Di luar kelas, kita juga terlibat dalam lingkungan kerja dan lingkungan pergaulan. Di luar kelas, kita hidup dalam keluarga yang memberikan kepada setiap peserta didik “field of experience” yang dapat membentuk “frame of reference” dalam diri setiap peserta didik. Karena itu, perlu pengaturan yang bersifat sistemik dan terintegrasi antar semua aktor dan faktor di atas untuk merekayasa suatu arah pendidikan watak, pendidikan karakter, yang kita cita-citakan bersama bagi bangsa ke menuju masa depan.
Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa:
1. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
2. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sbg proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.
3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orangtua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut.
4. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

b. Pendidikan Aksi
Watak, karakter, dan kepribadian bagaimana juga terbentuk melalui pengalaman. Itulah sebabnya prinsip ‘learning by doing’ menjadi sangat penting. Pengetahuan yang kita peroleh dari bacaan biasanya hanya bersifat kognitif, hanya mengandung dimensi reflektif. Akan tetapi, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman praktik berdimensi reflektif dan sekaligus aktif. Seperti dikemukakan oleh Paulo Freire dalam “Paedagogy of the Oppressed”, perubahan selalui dimulai dari sebuah kata. Akan tetapi, menurutnya, kata yang baik dan efektif untuk itu haruslah mengandung 2 dimensi sekaligus, yaitu refleksi (reflection) and aksi (action).
Jika kata hanya berisi refleksi, pengertian, dan pemahaman saja, maka kata yang demikian itu jika dikuasai hanya akan menghasilkan verbalisme. Seseorang yang banyak tahu secara kognitif, hanya menguasai dimensi refleksi dari kata-kata, akan menjadi orang yang verbalis, NATO atau “Never Action, but Talking Only”. Tetapi sebaliknya, jika kata hanya berisi aksi atau berisi tindakan, maka kata yang demikian itu hanya akan menghasilkan aktivisme, yaitu aktivisme tanpa perenungan, tanpa pemahaman dan pengertian. Aktifitas yang lahir dari sikap aktifisme seperti itu akan menjadi aktifitas tanpa jiwa dan tanpa kedalaman makna.
Karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep ‘fraksis’ (praxis) sebagai gabungan dari dimensi releksi dan aksi itu dalam kata (word). Fraksisiologi kata itulah yang penting kita wujudkan dalam pendidikan, yaitu pendidikan ‘kata-kata’ yang menyatu dengan tindakan-tindakan aksi. Pendidikan teoritis yang diikuti oleh praktik. Pendidikan di dalam kelas diiringi dengan pendidikan di lapangan. Pendidikan verbal dengan bertutur kata baik secara lisan ataupun tulisan yang diiringi dengan pendidikan melalui kerja, melalui pengalaman, ‘learning by doing’. Melalui pengalaman praktik yang demikian itu, pengetahuan tidak hanya akan menghasilkan refleksi, tetapi juga mengandung aksi.
Untuk itulah, maka proses belajar mengajar yang kita terapkan di sekolah dan di perguruan tinggi dewasa ini sudah semestinya dievaluasi dengan sungguh-sungguh. Jangan menjadikan peserta didik kita hanya pandai berkata-kata tetapi tidak pandai mewujudkan kata-kata itu dalam kenyataan praktik. Revolusi, hanya dapat dilakukan dengan kata-kata yang menurut Freire mengandung aksi, yaitu kata-kata yang praksis, bukan yang verbalis ataupun sekedar aktifistis.

c. Pencerahan Budaya dan Peradaban
Pendidikan watak atau pendidikan karakter itu sangat menentukan kualitas peradaban bangsa kita di masa depan. Pendidikan karakter akan membantu kita membuka pintu pencerahan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Arus informasi pengetahuan yang bergerak luas di dunia maya akan sangat mudah dikuasai oleh siapa saja yang tercerahkan (enlightened personalities). Semakin banyak, luas, dan mendalam informasi dikuasai oleh anak bangsa kita, makin besar pula potensi bangsa kita untuk maju dan berperan aktif dalam pergaulan antar peradaban modern.
Indonesia adalah negeri dengan penduduk keempat terbesar di dunia dan hidup di wilayah benua maritime yang sangat kaya dari semua aspeknya. Jika kita tidak tertinggal, maka bersamaan dengan terus meningkatnya kualitas sumber daya manusia di seluruh dunia, sudah tentu pada saatnya Indonesia akan berkembang menjadi salah satu kiblat peradaban umat manusia. Untuk itulah maka kita memerlukan upaya-upaya pencerahan dalam membentuk kepribadian, watak, dan karakter generasi muda sekarang agar menghasilkan insan-insan unggulan di segala bidang. Untuk itu, bangsa kita memerlukan strategi pembangunan pendidikan nasional yang dinamis dan responsif terhadap tuntutan kebutuhan demikian itu. Strategi pendidikan nasional yang kita praktikkan sekarang memerlukan reformasi yang mendasar dan bahkan boleh jadi bersifat radikal sehingga dapat membuka optimisme ke arah perbaikan yang berarti di masa mendatang.
Untuk itu, kita perlu menyampaikan harapan, kiranya kaum cerdik cendekia dan khususnya para ahli pendidikan dapat memikirkan pelbagai altenatif solusi dalam memperbaiki sistem pendidikan nasional kita dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan kita dalam arti sempit, dan integrasi sistem pendidikan dalam arti luas dengan melibatkan semua actor dan factor yang berpengaruh terhadap pembentukan karakter bangsa.


sumber: berbagai sumber

Bookmark Us

Delicious Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search